Kamis, 05 September 2013

Sutardji Calzoum Bachri

Sutardji Calzoum Bachri (lahir di RengatIndragiri Hulu24 Juni 1941; umur 72 tahun) adalah pujangga Indonesia terkemuka. Setelah lulus SMA Sutardji Calzoum Bachri melanjutkan studinya ke Fakultas Sosial Politik Jurusan Administrasi NegaraUniversitas PadjadjaranBandung. Pada mulanya Sutardji Calzoum Bachri mulai menulis dalam surat kabar dan mingguan di Bandung, kemudian sajak-sajaknyai dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta ruang kebudayaanSinar Harapan dan Berita Buana.
Dari sajak-sajaknya itu Sutardji memperlihatkan dirinya sebagai pembaharu perpuisian Indonesia. Terutama karena konsepsinya tentang kata yang hendak dibebaskan dari kungkungan pengertian dan dikembalikannya pada fungsi kata seperti dalam mantra.
Pada musim panas 1974, Sutardji Calzoum Bachri mengikuti Poetry Reading International di Rotterdam. Kemudian ia mengikuti seminar International Writing Program di Iowa CityAmerika Serikat dari Oktober 1974 sampai April 1975. Sutardji juga memperkenalkan cara baru yang unik dan memikat dalam pembacaan puisi di Indonesia.
Sejumlah sajaknya telah diterjemahkan Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan dalam antologi Arjuna in Meditation (CalcuttaIndia), Writing from the World (Amerika Serikat), Westerly Review (Australia) dan dalam dua antologi berbahasa Belanda: Dichters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststichting, 1975) dan Ik wil nog duizend jaar leven, negen moderne Indonesische dichters (1979). Pada tahun 1979, Sutardji dianugerah hadiah South East Asia Writer Awards atas prestasinya dalam sastra di BangkokThailand.
O Amuk Kapak merupakan penerbitan yang lengkap sajak-sajak Calzoum Bachri dari periode penulisan 1966 sampai 1979. Tiga kumpulan sajak itu mencerminkan secara jelas pembaharuan yang dilakukannya terhadap puisi Indonesia modern.

Toto Sudarto Bachtiar


Dilahirkan di Cirebon, Jawa Barat, 12 Oktober 1929. Penyair yang dikenal dengan dua kumpulan puisinya: Suara (1956) dan Etsa (1958) ini, juga dikenal sebagai penerjemah yang produktif. Karya-karya terjemahannya, antara lain Pelacur (1954, Jean Paul Sartre), Sulaiman yang Agung (1958, Harold Lamb), Bunglon (1965, Anton Chekov), Bayangan Memudar (1975, Breton de Nijs, diterjemahkan bersama Sugiarta Sriwibawa), Pertempuran Penghabisan (1976, Ernest Hemingway), dan Sanyasi(1979, Rabindranath Tagore). Ia merupakan catatan sejarah sastra tahun 1950-an, yang pada zamannya penuh perjuangan, sehingga karya-karya Toto selalu berisi perjuangan dan perlawanan melawan penjajah, seperti sajak Pahlawan Tak Dikenal, Gadis Peminta-minta, Ibukota Senja, Kemerdekaan, Ode I, Ode II, Tentang Kemerdekaan.

Saat terjadi Clash I, ia bergabung dalam Polisi Tentara Detasemen 132 Batalyon 13 di Cirebon. Pada waktu menjadi mahasiswa di Jakarta, pernah menjadi redaktur majalah Angkasa dan menjadi redaktur Menara Jakarta. Turut pula mendirikan majalah Sunda di Bandung bersama Ajip Rosidi tahun 1964 dan pernah menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat. Puisinya banyak dimuat media pada tahun 1950-an dan tersebar di beberapa media di Indonesia.

Sajaknya yang berjudul Ibu Kota Senja, menggambarkan situasi batiniah perjuangan menaklukkan Kota Jakarta. Ia menggambarkan Jakarta tanpa kompleks sebagai pendatang. Hingga kini, menurut pengamat sastra Agus R Sardjono, belum ada lagi sajak semesra dan seindah itu mengenai Jakarta. Hampir tidak bisa dibayangkan bahwa penulisnya adalah orang Jawa Barat dan menghabiskan sebagian besar hidupnya di Jawa.

Bersama Ramadhan KH, Rendra dan Sapardi Joko Damono dikenal sebagai salah satu tonggak sastra Indonesia pada periode 1950-an dengan ciri masing-masing. Namun nama Toto Sudarto Bachtiar kemudian seolah-olah terlupakan”sejarah. “

Toto Sudarto Bachtiar yang biasa dipanggil Kang Toto adalah penyair yang sangat dikagumi oleh para penulis remaja, sejak akhir tahun 1950-an. Hampir tiap kali ada kegiatan lomba baca puisi (deklamasi) antar pelajar Jawa Barat, maka puisi gubahannya selalu menjadi wajib. Penampilannya sangat sederhana, sampai di hari-hari terakhir hidupnya ia tidak pernah terlihat memakai sepatu, kecuali sepatu olah raga. Kebiasaannya, memakai sandal atau sepatu sandal. Kesukaannya adalah bepergian memakai kendaraan umum atau angkot. Kadang-kadang diantar sopir keluarga, hanya didrop ke tempat tujuan.

Toto Sudarto Bachtiar wafat di usianya yang ke-78 tahun, di Desa Cisaga, Kota Banjar, Jawa Barat.

Mengenal Afrizal Malna

Lahir di Jakarta 7 Juni 1957, adalah seniman Indonesia yang menghasilkan berbagai karya, mulai puisi, cerita pendek, novel, esai, serta naskah pertunjukan teater. Karya-kartnya sering menciptakan nuansa dan gaya puitis. Sejak menamatkan bangku SMA (1976), ia tidak melanjutkan sekolah, baru di tahun 1981 ia berkuliah di sekolah Tinggi Filsafat Driyakarya, Jakarta hingga dikeluarkan pada tahun 1983.

Afrizal Malna merumuskan dan memperlakukan puisinya sebagai instalasi kata-kata dan mozaik gambar-gambar yang tak selalu saling punya hubungan linier ataupun ikatan antarkata dan antarfrasa yang tertib dan masuk akal, sehingga struktur bangunan dan logika puisinya cenderung fragmentaris dan sering absurd, cenderung tak hendak menyerupai suatu bangunan bahasa yang integral dan cocok dengan segala hukum representasi. Sehingga, membaca puisi Afrizal harus selalu ekstra waspada dan siap-siap untuk melompat ke sana dan ke sini dan terasa kacau, agar bisa tetap mengikuti arah bahasa dan tebaran imajinasi dalam arus lalu lintas penulisan puisinya.

Bagi Afrizal Malna, puisi tak selalu harus diperlakukan dengan cara mempraktikkan keketatan disiplin berbahasa dan berpuisi yang harus koheren, sinkron, mematuhi prinsip-prinsip sintaksis maupun semantik konvensional. Sebab, menurut penyair ini, kata adalah lembaga komunikasi yang paling susah dipegang, bobrok dan busyet. Bahasa mungkin merupakan ciptaan manusia yang paling punya banyak masalah. Bahasa pada dasarnya medan komunikasi sehingga setiap hal yang menyimpan atau menyampaikan pesan kemungkinan besar menjadi bahasa atau sudah menjadi bahasa dalam keseluruhan dirinya Konsekuensi dari itu semua adalah puisi mestinya memiliki pendaman ”misteri, memiliki kekuatan untuk menghubungkan berbagai ingatan pembaca ke dalam bentukan semantik tertentu. Pembaca bisa membuat permainan baru dari korespondensi antar ingatan-ingatannya sendiri. Sebab puisi tak hidup dalam dirinya sendiri, puisi hidup dalam diri pembaca yang terbuka terhadap ingatannya atau berbagai pengalaman pribadi dan sosial.

Kata, bagi penyair ini, selalu memiliki ruang luar dan ruang dalam. ‘Ruang luar kata’ adalah konvensi komunikasi yang berlangsung dalam wilayah publik. Berbagai pernik-pernik komunikasi saling berhubungan dalam ruang ini. Sifatnya sangat umum dan pragmatis. Mitos dan berbagai pandangan stereotip, wacana, dan ideologi, dibawa ke ruang ini lebih sebagai pengukuhan dan stabilitas publik dalam menjalankan berbagai mekanisme hubungan yang telah dilembagakan. Kediktatoran bahasa mungkin terjadi di ruang ini yang mereduksi kualitas kehidupan publik. Sedangkan ruang dalam kata” sifatnya pribadi dan subjektif. Sebuah kebebasan yang bekerja dan bertindak dalam ruang yang terbatas. Karena itu pengejaran dalam pelaksanaan kebebasan tersebut cenderung bergerak ke dimensi kualitasnya dan bukan kuantitasnya. Puisi menjadi menarik karena ia sesungguhnya merupakan produk dari ruang dalam kata, lalu mencoba keluar menemui publik.

Kehadiran puisi di antara mitos, berbagai pandangan stereotip, wacana atau ideologi mungkin seperti orang asing yang tak mau tunduk ke dalam konvensi hubungan-hubungan publik yang berlangsung di ruang luar itu. Puisi sesungguhnya mencoba merajut kembali hubungan antara ruang luar dan ruang dalam sebagai representasi pembagian kerja kebudayaan dan peradaban yang dilakukan manusia. Citraan benda-benda dan kosmos urbanjuga menjadi salah satu karakter yang menonjol dalam puisi-puisi Afrizal Malna. Selain sebagai instalasi kata-kata, puisi Afrizal Malna juga menggambarkan suatu instalasi benda-benda urban. Benda-benda urban itu menjadi sosok atau subjek yang hidup, memiliki ‘biografi’ tersendiri sebagaimana makhluk hidup pada umumnya dan membangun personifikasi dalam puisi-puisi Afrizal Malna.

Benda-benda telah menjadi lingkungan semiotik yang sangat sensitif, membangun bahasa imajinasi tersendiri yang khas, menyusun rangkaian-rangkaian pengucapan yang membawa asosiasi pembaca ke sebuah wilayah yang bernama urban. Afrizal Malna tentu kurang fasih bicara lewat bahasa dari lingkungan khazanah alam-agraris, misal kabut, batu, langit, daun, angin, atau bulan, yang biasa dipakai penyair kita kebanyakan selama ini. Ia menulis puisi lewat lingkungan bahasanya dan kosmosnya sendiri, yang dia kenali dan akrabi secara alami, yaitu lingkungan urban.

Sejak 1983 hingga 1993, ia banyak menulis teks pertunjukan untuk Teater SAE. Tahun 1995 membuat pertunjukan Seni Instalasi bersama Beeri Berhard Batscholat dan Joseph Praba di Solo. Dan tahun 1996 kolaborasi pertunjukan seni instalasi ‘Kesibukan Mengamati Batu-Batu’, dengan seniman dari berbagai disiplin di TIM Jakarta. Afrizal pernah mengunjungi beberapa kota di Swiss dan Hambrug, memberikan diskusi teater dan sastra di beberapa universitas dalam rangka pertunjukan Teater SAE 1993 yang mementaskan naskahnya.

Tahun 2003, ia mementaskan ‘Telur Matahari’ berkolaborasi dengan Jecko Kurniawan Harris Pribadie Bah.  Memiliki karier yang beragam, mulai dari bekerja di perusahaan kontraktor bangunan, ekspedisi muatan kapal laut dan asuransi jiwa. Beberapa kali diundang dalam festival dan acara sastra nasional maupun internasional, seperti Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1995), dan Utan Kayu International Literary Biennale di Jakarta (2006).
About this author

Pendidikan akhir Sekolah Tinggi Filsafat Dri-yarkara (tidak selesai).
Buku yang pernah terbit:

1. Abad Yang Berlari, 1984 (mendapat penghargaan Hadiah Buku Sastra Dewan Kesenian Jakarta, 1984)
2. Yang Berdiam Dalam Mikropon, 1990;
3. Arsitektur Hujan, 1995 (mendapat penghargaan dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebu-dayaan RI, 1996).
4. Biography of Reading, 1995.
5. Kalung dari Teman
6. Museum Penghancur Dokumen, 2013

Karya yang terbit dalam antologi bersama:

1. Perdebatan Sastra Kontekstual (Ariel Heryanto, 1986);
2. Tonggak Puisi Indonesia Modern 4 (Linus Suryadi, 1987);
3. Cerpen-cerpen Nusantara Mutakhir (Suratman Markasan, Kuala Lumpur, 1991);
4. Dinamika Budaya dan Politik (Fauzie Ridjal,...more

Mengenal Rg Bagus Warsono (Agus Warsono)


Rg.(Ronggo) Bagus Warsono lebih dikenal dengan Agus Warsono, SPd.MSi,dikenal sebagai sastrawan dan pelukis Indonesia. Lahir Tegal 29 Agustus 1965.Tinggal di Indramayu.Mengunjungi SDN Sindang II, SMP III Indramayu, SPGN Indramayu, (S1) STIA Jakarta , (S2) STIA Jakata. Tulisannya tersebar di berbagai media regional dan nasional. Redaktur Ayokesekolah.com.Pengalaman penulisan pernah menjadi wartawan Mingguan Pelajar, Gentra Pramuka, Rakyat Post, dan koresponden di beberapa media pendidikan nasional. Anggota PWI Cabang Jawa barat. Menikah dengan Rafiah Ross hinga sekarang, anak-anak Abdurrachman M.



Karya antara lain:
1. Rumahku di Tepi Rel Kereta Api (Kumpulan cerpen anak 1992)
2. Menanti hari Esok (antologi puisi)
3. Mata Air (antologi puisi)
4. Bunyikan Aksara Hatimu (BAH) (antologi puisi)
5. Si Bung (Bung Karn0) (antologi puisi)

 Antologi bersama :
 Puisi Menolak Korupsi (PMK II)

Cergam antara lain :
1. Si Kacung Ikut Gerilya
2. Kopral dali
3. Pertempuran Heroik Di Ciwatu
4. Pertempuran Selawe
5. Si Jagur 
6. Panglima Indrajaya
7. Endang Dharma
8. Laskar Wiradesa





Anak Agung Pandji Tisna : raja Buleleng, budayawan, pendidik, dan pelopor pariwisata


Anak Agung Pandji Tisna (lahir di Buleleng11 Februari 1908 – meninggal 2 Juni 1978 pada umur 70 tahun), dalam sumber lain disebutkan meninggal tahun 1976 [1] yang dikenal pula dengan nama A.A. Pandji TisnaAnak Agung Nyoman Pandji Tisna atau I Gusti Nyoman Pandji Tisna, adalah keturunan ke-11 dari dinasti raja Buleleng di Bali Utara, Anglurah Pandji Sakti. Nama Anak Agung Pandji Tisna dipergunakan sejak tahun 1938, diubah dari nama I Gusti Njoman Pandji Tisna.[2]
Pada saat Pandji Tisna lahir,Buleleng berada di bawah pemerintahan Belanda sejak 1872. Meskipun ayahnya hanya diangkat sebagai administratur oleh Pemerintah Belanda, namun Anak Agung Putu Djelantik adalah pewaris tahta kerajaan. Pandji Tisna lahir dalam budaya dan kepercayaan Hindu-Bali, serta tumbuh di istana kerajaan Singaraja, di mana ia mengalami dan menyaksikan sendiri kekayaan artistik istana.[2]
Antara usia tujuh hingga tujuh belas tahun, Pandji Tisna belajar di sekolah menengah Belanda, mula-mula di Singaraja, kemudian dilanjutkan di Batavia (Jakarta). Sekolahnya tidak dilanjutkan, lalu ia kembali ke Singaraja, bekerja membantu ayahnya sebagai sekretaris pribadi.[2]
Pada tahun 1929, Pandji Tisna dikirim ayahnya ke Lombok, sebuah pulau di dekat Bali, di mana ia tinggal di sana sampai 1934, mengurus bisnis transportasi ayahnya. [2] Sekembalinya ke Singaraja, Pandji Tisna pindah ke desa kecil di luar kota Singaraja dan mengelola perkebunan kelapa serta usaha ekspor kopra. [2]Tampaknya kehidupan pedesaan lebih disukainya daripada kehidupan istana.[2]
Bahasa ibu Pandji Tisna adalah bahasa Bali. [2]Ia belajar bahasa Belanda saat bersekolah. [2]Bahasa Melayu atau bahasa Indonesia adalah bahasa ketiga yang dipelajarinya di sekolah sebagai bahasa "asing" ketika ia berumur 12 tahun. [2]Meski mencintai adat dan tradisi Bali, Pandji Tisna banyak menggunakan bahasa Indonesia dalam penulisan karyanya. [3] Sejak tahun 1935, ia bertekad menjadi penulis yang menghasilkan novel dalam bahasa Indonesia, yakni Ni Rawit, Ceti Penjual Orang, dilanjutkan dengan Sukreni Gadis Bali''I Swasta: Setahun di Bedahulu'', dan ''Dewi Karuna: Salah Satu Jalan Pengembara Dunia''.[2] Karya-karya Pandji Tisna yang menampilkan budaya dan tradisi Bali ini memberikan warna baru bagi khazanah kesusasteraan Indonesia pada masa itu yang lebih didominasi kesusasteraan Sumatera.[3]
Pada 1942, Jepang menyerang dan mengambil alih hampir semua bekas jajahan Belanda di Hindia, termasuk Bali.[2]Pada saat itu, Pandji Tisna hidup tenang di pedesaan Singaraja hingga tahun 1944, ketika dia ditangkap oleh militer Jepang karena dicurigai melakukan kegiatan anti-Jepang.[2] Ia dibebaskan tidak lama kemudian, namun Jepang telah menghancurkan perpustakaannya yang memiliki banyak koleksi buku berbahasa asing.[2]
Pada tahun 1945, menjelang takluknya Jepang ayah Pandji Tisna meninggal. Sebagai putra sulung, ia mewarisi takhtanya dari ayahnya, Anak Agung Putu Djelantik, pemimpin Buleleng, wilayah di bagian utara Bali pada 1944.[2] Dalam buku karangannya sendiri yang berjudul I Made Widiadi, pada halaman terakhir disebutkan bahwa ia sejak semula tidak mau diangkat raja. Karena tentara pendudukan Jepang memerlukan, maka dengan dipaksa ia diangkat sebaga "syucho".[4]
Menjelang akhir tahun 1945, setelah Jepang menyerah, Pandji Tisna menjadi Ketua Dewan Raja-raja se-Bali (Paruman Agung), yang beranggotakan delapan pemimpin wilayah Bali, dan menjadi pemimpin Bali pada saat itu yang setara dengan jabatan gubernur.[2]
Pada awal tahun 1946, pada usia 38, Anak Agung Pandji Tisna berpindah agama, dari beragama Hindu menjadi beragama Kristen, sebuah tindakan yang berbeda di tengah masyarakat Bali yang umumnya beragama Hindu dan memandang agama sebagai bagian tak terpisahkan dari budaya dan etnisitas.[2] Karena itu, ia sendiri menulis bahwa karena ia beragama Kristen sementara masyarakatnya beragama Hindu, ia tidak cocok menjadi raja Buleleng.[2]
Tahun 1947 ia secara sadar turun dari takhta kerajaan. Kedudukan raja dilanjutkan oleh adiknya Anak Agung Ngurah Ketut Djelantik atau I Gusti Ketut Djelantik yang dikenal dengan nama Meester Djelantik sampai pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada tahun 1949 dan Anak Agung Ketut Djelantik menjadi raja Buleleng terakhir.[2]
Anak Agung Pandji Tisna meninggal dunia 2 Juni 1978 dan dikuburkan dengan upacara agama Kristen di tanah pekuburan pribadinya di atas sebuah bukit di desa Seraya - Kaliasem di sebelah sebuah gereja yang telah lebih dahulu dibangun olehnya.[2
Anak Agung Pandji Tisna mendapatkan pendidikan formalnya di HIS di Singaraja dan kemudian MULO di Batavia.
Oleh masyarakat luas, Anak Agung Pandji Tisna lebih dikenal sebagai pengarang novel. Roman-romannya diterbitkan oleh Balai Pustaka, yang semuanya mengambil tempat di Bali, terutama di daerah Singaraja, tempat kelahirannya. Cerita-cerita pendeknya banyak dimuat dalam majalah "Terang Boelan" yang terbit di Surabaya. Ia juga sempat menulis sejumlah puisi, di antaranya "Ni Poetri", yang diterbitkan oleh Sutan Takdir Alisyahbana dalam majalah "Poedjangga Baroe" di Jakarta.
Pandji Tisna juga terkenal karena ia merupakan tokoh perintis pariwisata Bali, khususnya di daerah pantai utara. Pada tahun 1953 Pandji Tisna memilih lokasi Desa Tukad Cebol (kini Desa Kaliasem) sebagai tempat peristirahatannya. Di situ ia menulis dan menerima tamu-tamunya dari dalam maupun luar negeri. Tempat peristirahannya itu dinamainya "Lovina", yaitu singkatan dari kata "Love Indonesia". Setelah itu, Pandji Tisna mendirikan tempat-tempat penginapan di pantai barat Buleleng tersebut, dan seluruh daerah itu kemudian dikenal sebagai pantai Lovina. Karena itu Pandji Tisna juga diakui sebagai "Bapak Pariwisata Bali". Pada tahun 2003, Pemerintah Daerah Bali menganugerahi kepadanya secara anumerta penghargaan "Karya Karana" sebagai pengakuan atas jasa-jasanya dalam pengembangan pariwisata Bali.
Anak Agung Pandji Tisna dilahirkan dari AA Putu Djelantik dengan istrinya Jero Mekele Rengga. Ia sendiri pernah mempunyai empat orang istri, yaitu Anak Agung Istri Manik, Ni Ketut Mayas (Jero Mekele Seroja), Luh Sayang (Mekele Sadpada), dan Jro Mekele Resmi. Memiliki 13 anak.[2

Mengenal Eka Budianta

Lahir dari pasangan guru, Daoeni Andajani, sang ibu mulai pernikahannya dengan Astroadi Martaredja sang ayah, pada 1 Februari 1956. Eka memang pandai membuat cerita sendiri. Kepada anak perempuannya, Theresia Citraningtyas Budianta, Eka sering bercerita bahwa dia anak pohon sawo, sebab di bawah pohon itu ia lahir dan ditemukan. Tak berlebihan kalau Citra kemudian menganggap Eka sebagai titisan bumi, sebab manusia mana yang bisa secara pribadi mengenal semua pohon yang dijumpainya.

Pada bagian buku Pagi Tanpa Batas, Eka ingin menyampaikan pesan bahwa yang paling penting saat ini adalah pagi, pagi dan pagi. Pagi tanpa batas, hidup yang senantiasa segar, bumi yang senantiasa sejuk dengan matahari yang selalu siap memancar. Sungguh luar biasa, sebagaimana goresan dari teman-teman Eka di dunia sastra di antaranya Budi Darma, Putu Wijaya, Ikranegara, Ernst Ulrich Kratz, dan Danarto yang telah membuat pagi dalam hidupnya menjadi bermakna abadi.

Pada Buku Empat dan lima bagi Eka, dengan caranya sendiri, ia menyebutkan lima macam lima puluh perdana yang berpengaruh dan ikut menentukan hidupnya. Yaitu 50 lembaga yang paling membantu hidupnya, 50 nama yang telah memperindah hidup, 50 orang yang ikut membentuk hidup, 50 puluh pohon terdekat dan 50 kota tercinta. Melalui visinya, Eka seakan mengingatkan pada dinding kaca bening di ruang tamu. Kadangkala kaca itu bisa menjadi cermin tempat kita bisa menemukan wajah kita di dalamnya, termasuk suksesnya meraih gelar Doktor Kesusastraan di luar negeri.

Melani Budianta, sang istri, merupakan sosok di balik senyum dan semangat hidup Eka. Menurut Eka, isterinya sudah terlalu banyak memberi. Ia sudah memberi hadiah bermacam-macam.

Dalam buku terakhirnya, Eka menawarkan sebuah formula agar hidup ini bisa bermakna, yaitu Chito : Catatan, Hobi, Ide, Tabungan dan Organisasi. Formula Chito adalah hikmah dari kehidupan senang dan sedih, gagal dan sukses yang dialami Eka selama 50 tahun di bumi.

Eka mengingatkan bahwa zaman yang kita masuki penuh dengan berbagai informasi dan kepentingan. Untuk melaluinya dengan nyaman, kuncinya terletak pada keperdulian kita. Dan untuk peduli itu kita harus kuat. Kita memerlukan pribadi yang tangguh dan merdeka. Siap mekar di bumi..

Mengenal Linus Suryadi AG

Dilahirkan di Kadisobo, Trimulyo, Sleman, 3 Maret 1951. Berlatar belakang pendidikan SD, SMP, SMA Paspal (1970), kemudian meneruskan ke Jurusan Bahasa Inggris ABA (1971) namun tidak tamat, dan Jurusan Bahasa Inggris IKIP Sanata Dharma (1972) namun tidak tamat juga. Mengikuti International Writing Program di University of IowaIowa City, A merika Serikat (1982).

Pernah menjadi Direktur Kebudayaan harian Berita Nasional (1979-1986) di Yogyakarta, anggota Dewan Kesenian Yogyakarta (1986-1988) dan pemimpin redaksi majalah Citra Yogya (1987-1999)

Sejak tahun 1970-an, ketika ia mulai berkarya, diperkirakan sekitar 400 judul puisi telah lahir darinya. Setelah dipengaruhi oleh gaya puisi Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan Taufik Ismail, akhirnya, ia dapat menemukan gayanya sendiri. Ia tertarik pada berbagai aspek kebudayaan Jawa, yang sangat di sadarinya sebagai kekayaan yang harus di gunakan semaksimal mungkin dalam sajak-sajaknya.

Prosa liriknya, Pengakuan Pariyem (1981), banyak mendapat perhatian dari pengamat dan penelaah sastra dari dalam dan luar negeri. Tahun 1985 prosa liriknya ini terbit dalam edisi Belanda dengan judul De Bekentenis van Pariyem (terjemahan Maria Thermorshuizen). Karyanya yang lain : Langit Kelabu (kumpulan sajak, 1976),Perang Troya (cerita anak, 1977), Dari Desa ke Kota (kumpulan esai, 1985), Perkutut Manggung (kumpulan sajak, 1986), Tugu: Antologi Puisi 32 Penyair Yogya (ed. Bunga Rampai, 1986), Tonggak 1-4 (ed. Bunga Rampai, 1987), Kembang Tunjung (Kumpulan Sajak, 1988), Alit Pak Sastra di Kota (kumpulan esai, 1988), Rumah Panggung (kumpulan sajak, 1988), Di Balik Sejumlah Nama: Sebuah Tinjauan Puisi-Puisi Indonesia Modern (kumpulan esai, 1989), Tirta Kamandanu (1997) dan Yogya Kotaku (1997).